Ini
adalah salah satu legenda Tanah Jawa, sesosok figur ulama di daerah
Selo, Grobogan, Jawa Tengah yang bernama Ki Ageng Selo...
Silsilah
Menurut silsilah, Ki Ageng Selo adalah cicit atau buyut dari Brawijaya
terakhir. Beliau moyang (cikal bakal-red) dari pendiri kerajaan Mataram
yaitu Sutawijaya. Termasuk Sri Sultan Hamengku Buwono X (Yogyakarta)
maupun Paku Buwono XIII (Surakarta).
Menurut cerita Babad Tanah Jawi (Meinama, 1905; Al-thoff, 1941), Prabu
Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning dan berputra Bondan
Kejawan/Ki Ageng Lembu Peteng yang diangkat sebagai murid Ki Ageng
Tarub. Ia dikimpoikan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi
Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Dari perkimpoian Lembu
Peteng dengan Nawangsih, lahir lah Ki Getas Pendowo (makamnya di
Kuripan, Purwodadi). Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh dan yang
paling sulung Ki Ageng Selo.
Ki Ageng gemar bertapa di hutan, gua, dan gunung sambil bertani
menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya
dibagi-bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup
berkecukupan. Salah satu muridnya tercintanya adalah Mas Karebet/Joko
Tingkir yang kemudian jadi Sultan Pajang Hadiwijaya, menggantikan
dinasti Demak.
Putra Ki Ageng Selo semua tujuh orang, salah satunya Kyai Ageng Enis
yang berputra Kyai Ageng Pamanahan. Ki Pemanahan beristri putri sulung
Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau
Sutawijaya. Melalui perhelatan politik Jawa kala itu akhirnya Sutawijaya
mampu mendirikan kerajaan Mataram menggantikan Pajang.
Sang Penangkap Petir
Kisah ini terjadi pada jaman ketika Sultan Demak Trenggana masih hidup.
Syahdan pada suatu sore sekitar waktu ashar, Ki Ageng Sela sedang
mencangkul sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan.
Tidak lama memang benar - benar hujan lebat turun. Petir datang
menyambar-nyambar. Petani lain terbirit-birit lari pulang ke rumah
karena ketakutan. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak - enak menyangkul,
baru sebentar dia mencangkul, datanglah petir itu menyambar Ki Ageng
Selo. Gelegar..... petir menyambar cangkul di genggaman Ki Ageng. Namun,
ia tetap berdiri tegar, tubuhnya utuh, tidak gosong, tidak koyak. Petir
berhasil ditangkap dan diikat, dimasukkan ke dalam batu sebesar
genggaman tangan orang dewasa. Lalu, batu itu diserahkan ke Kanjeng
Sunan di Kerajaan Istana Demak.
Kanjeng Sunan Demak –sang Wali Allah-- makin kagum terhadap kesaktian
Ki Ageng Selo. Beliau pun memberi arahan, petir hasil tangkapan Ki Ageng
Selo tidak boleh diberi air.
Kerajaan Demak heboh. Ribuan orang --perpangkat besar dan orang kecil--
datang berduyun-duyun ke istana untuk melihat petir hasil tangkapan Ki
Ageng Selo. Suatu hari, datanglah seorang wanita, ia adalah intruder
(penyusup) yang menyelinap di balik kerumunan orang-orang yang ingin
melihat petirnya Ki Ageng.
Wanita penyusup itu membawa bathok (tempat air dari tempurung kelapa)
lalu menyiram batu petir itu dengan air. Gelegar... gedung istana tempat
menyimpan batu itupun hancur luluh lantak, oleh ledakan petir. Kanjeng
Sunan Demak berkata, wanita intuder pembawa bathok tersebut adalah
“petir wanita” pasangan dari petir “lelaki” yang berhasil ditangkap Ki
Ageng Selo. Dua sejoli itupun berkumpul kembali menyatu, lalu hilang
lenyap.
Versi lainnya
Versi lain menyebutkan petir yang ditangkap oleh Ki Ageng Selo berwujud
seorang kakek. Kakek itu cepat - cepat ditangkap nya dan kena, kemudian
diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah
cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan
kepada Sultan demak. Oleh Sultan “ bledheg “ itu ditaruh didalam jeruji
besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun - alun. Banyak orang yang
berdatangan untuk melihat ujud “ bledheg “ itu. Ketika itu datanglah
seorang nenek - nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada
kakek “ bledheg “ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah
menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan
nenek “ bledheg : tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “
bledheg hancur berantakan.
Sejak saat itulah, petir tak pernah unjuk sambar di Desa Selo, apalagi
di masjid yang mengabadikan nama Ki Ageng Selo. "Dengan menyebut nama Ki
Ageng Selo saja, petir tak berani menyambar," kata Sarwono kepada
Gatra.
Soal petir yang tidak pernah ada di Desa Selo diakui oleh Sakhsun, 54
tahun. Selama 22 tahun ia menjadi muazin Masjid Ki Ageng Selo, dan baru
pada akhir November 2004 dilaporkan ada petir yang menyambar kubah
masjid Ki Ageng Selo. Lelaki berambut putih itu pun terkena dampaknya.
Petir itu menyambar sewaktu ia memegang mikrofon hendak mengumadangkan
azan asar.
Sakhsun pun tersengat. Bibirnya bengkak. "Saya tidak tahu itu isyarat
apa. Segala kejadian kan bisa dijadikan sebagai peringatan bagi kita
untuk lebih beriman," katanya. Dia sedang menebak-nebak apa yang bakal
terjadi di desa itu. Menurut kepercayaan setempat, kubah masjid adalah
simbol pemimpin. Apakah artinya ada pemimpin setempat yang akan tumbang?
Terus bagaimana kira-kira cara Ki Ageng Selo menangkap petir?
Kalau kita telaah cerita legenda di atas tentunya ada sebagian yang
benar sesuai dengan sejarah aslinya. Mari kita telaah kira-kira
bagaimana cara Ki Ageng Selo menangkap petir bila dilihat dari
perspektif ilmu pengetahuan kita jaman sekarang.
1. Petir terjadi di waktu cuaca mendung
Muatan listrik yang secara perlahan terpisah antara beberapa awan atau
perbedaan muatan listrik antara awan dan bumi, menyebabkan lecutan
muatan listrik atau yang kita kenal sebagai petir.
Lecutan muatan listrik dari awan ke bumi
Efek yang terjadi bila menyambar sebatang pohon eucalyptus
2.Petir menyambar cangkul tetapi Ki Ageng Selo tidak terluka sedikitpun.
Cangkul terbuat dari besi dan kayu... Besi adalah konduktor listrik
yang baik sedangkan kayu adalah isolator. Hal paling logis adalah petir
menyambar Ki Ageng Selo ketika dia sedang mengayunkan cangkulnya.
Sehingga lecutan petir dari awan ke bagian besi cangkulnya dapat
diisolasi oleh kayu cangkul dan langsung diteruskan ke bumi. Hmmmm....
Kira2 dari kayu apakah cangkul Ki Ageng Selo terbuat sehingga sifat
isolatornya begitu kuat? Gw yakin Ki Ageng Selo sudah mengetahui
kekuatan kayu cangkulnya sehingga dia tidak takut sedikitpun ketika
petir menyambar2, tidak seperti petani lainnya.
Model cangkul yang mungkin dipakai Ki Ageng Selo
3. Petir berhasil ditangkap dan diikat, dimasukkan ke dalam batu sebesar genggaman tangan orang dewasa.
Hmmm.... mirip kisah Si Ponari yah
Hal yang paling logis adalah petir itu langsung menyambar batu yang ada
di sawah milik Ki Ageng Selo. Batu yang sebesar genggaman tangan orang
dewasa tersebut bersifat kapasitor, sehingga sifat dan ukurannya mampu
menyimpan muatan listrik (elektron). Kira-kira batu apakah itu
juragan???
Kalau deskripsi kapasitor jaman sekarang yah seperti ini juragan :
Kapasitor adalah komponen elektronika yang dapat menyimpan muatan
listrik. Struktur sebuah kapasitor terbuat dari 2 buah plat metal yang
dipisahkan oleh suatu bahan dielektrik. Bahan-bahan dielektrik yang umum
dikenal misalnya udara vakum, keramik, gelas dan lain-lain. Jika kedua
ujung plat metal diberi tegangan listrik, maka muatan-muatan positif
akan mengumpul pada salah satu kaki (elektroda) metalnya dan pada saat
yang sama muatan-muatan negatif terkumpul pada ujung metal yang satu
lagi. Muatan positif tidak dapat mengalir menuju ujung kutup negatif dan
sebaliknya muatan negatif tidak bisa menuju ke ujung kutup positif,
karena terpisah oleh bahan dielektrik yang non-konduktif. Muatan
elektrik ini "tersimpan" selama tidak ada konduksi pada ujung-ujung
kakinya.
4. Ketika batu tempat "petir" disimpan disiram air, terjadi ledakan.
Air bersifat konduktor atau mampu menghantarkan muatan listrik. Jadi
bukan hal yang aneh bila terjadi ledakan hubung singkat listrik bila
batu tempat menyimpan "petir" tersebut disiram air.
sumber: kaskus.us