Setiap
wanita pasti mendambakan tubuh yang cantik dan ideal. Namun tidak
demikian dengan Louisa Bernadette Indrawati ( 36 ) yang memiliki tubuh
dengan tinggi hanya 74 cm. Bukan hanya tubuh yang pendek, Louisa juga
tidak memiliki
kaki
dan tangan yang sempurna seperti kebanyakan orang. Namun kondisi
seperti itu, ia bisa menunjukan identitasnya sebagai wanita normal.
Tidak perlu dikasihani dan tidak mau dibedakan dengan wanita normal
lainnya.
Louisa
lahir sebagai anak dari pasangan Sukardji Kusno dan Maria Magdalena
Sriyati pada tanggal 27 Mei 1974 di Kediri. Ia menyadari kelainan yang
ada pada dirinya sejak ia masih kecil. Keadaan itu menyebabkan ia sering
minder dan menyendiri. Ia bertanya kepada orang-tuanya tentang keadaan
tubuhnya, “ Papa, mama kenapa Louisa punya tubuh begini, kok tidak sama
dengan teman Louisa.” Papa dan mamanya hanya berkata bahwa ia adalah
anak yang luar biasa, yang tidak ada bedanya dengan anak lain. Tuhan
memberikan keunikan kepada setiap anak. Setiap anak diberi kekurangan
dan juga kelebihan. Louisa pasti memiliki kelebihan yang tidak dimiliki
oleh teman-temannya.
Akhirnya
Louisa tumbuh dengan keyakinan dan semangat yang besar. Ia tidak minder
sekalipun ia dianggap oleh banyak orang sebagai wanita yang aneh karena
tubuhnya. Ia sekolah di sekolah normal dan terus belajar mandiri. Ia
tidak mau sekolah di sekolah untuk anak cacat dan selalu mendapatkan
prestasi akademik di sekolah. Louisa kemudian masuk perguruan tinggi dan
saat kuliah hukum atas anjuran ayahnya yang seorang jaksa, Louisa
diam-diam, tanpa sepengetahuan orangtuanya, mengambil kuliah computer
sampai lulus D3.
Ia
sangat tertarik dengan teknologi. Lulus kuliah, Louisa bekerja di
perusahaan computer. “ Percaya diri itu memang ada, tapi saya tetap tahu
diri dengan keadaan tubuh saya. Saya tak pernah terpikir menikah. Saya
mengadopsi bayi berumur 20 hari. Saya memberinya nama Maria Rosa Widya
Buana.” Louisa mengasuh dan mendidik Rosa penuh kasih, sebagaimana
seorang Ibu terhadap anaknya. “ Dia juga selalu tiga besar,” kata Louisa
tersenyum ke arah Rosa yang berumur 12 tahun.
Desember
1999, Louisa ambil cuti tahunan dan berlibur ke Bali bersama Rosa.
Kemana pun pergi, Louisa selalu membawa Alkitab. Ia berusaha dapat
membacanya setiap hari. Louisa tahu pasti, kekuatan hidupnya terletak
pada kedekatannya dengan Tuhan. Di pesawat, Louisa membaca Alkitab.
Namun, tanpa sengaja Alkitab itu terjatuh. Tiba-tiba saja laki-laki yang
duduk di sebelahnya mengambilkan Alkitab itu, “ Mbak, ini Alkitabnya “.
Louisa pun mengangguk menerima Alkitab dan berucap singkat, “ Thanks.”
“
Saya selalu berusaha menghindari perkenalan yang berkepanjangan dengan
pria. Saya takut jatuh cinta. Saya sadar betul akan diri saya,”
ungkapnya. Pria tadi beberapa kali mengajaknya mengobrol yang dijawab
singkat. Bahkan cenderung cuek. “ Mbak, mbak kan orang Kristen, kok
sombong sih?” Dug! Louisa benar-benar kaget dengan komentar itu.
Sombong? Sesungguhnya di hati yang paling dalam Louisa minder ! Selama
ini ia sengaja tidak pernah ramah dengan setiap pria yang ditemuinya. Ia
sadar ternyata sikapnya itu telah melukai orang lain. Ya, bukankah ia
pengikut Kristus yang harus jadi berkat ? Perkenalan pun terjadi. Mereka
bertukar alamat email dan nomor telepon. Pria yang ganteng tadi bernama
Handoyo Suryo yang kelahiran tahun 1963, dari keluarga yang bermukim di
jalan Darmo, Surabaya.
Setelah
perkenalan itu, Handoyo menghubunginya. Lalu mereka saling menelepon,
kirim email, dan chatting. Persahabatan pun terjalin. Satu kali, tanpa
sengaja mereka bertemu kembali di Jogja saat keduanya tugas kantor. “
Saya kaget bukan main. Saya lagi makan bareng dengan teman-teman di
restoran. Eh, Handoyo juga di restoran itu. Akhirnya kami ngobrol satu
meja.” Selesai makan mereka kembali ke hotel masing-masing. Saat
berpisah itulah, Louisa merasakan hal aneh di hatinya. Ia berpikir
tentang Handoyo. Jatuh cinta? Ah, tidak. Tidak! Louisa mencoba menepis
perasaan lain dari sekadar persahabatan. Hati Louisa bergejolak.
Entahlah, malam itu Louisa merasakan ketulusan Handoyo. Louisa berdoa,
bertanya pada Tuhan tentang perasaan itu.
Tuhan
seolah menjawab, Handoyo itu orang baik”. Sekitar tiga tahun lamanya
bersahabat dan saling menguji sampai mana cinta itu melekat. Tiba-tiba
Handoyo datang menemui Louisa sambil membawa cincin, “Will you marry
me?” Louisa tersentak. Campur aduk perasaan dalam hatinya. Betulkah?
Seriuskah? Ah, tidak mungkin. Lamaran Handoyo saat itu terasa lebih
sebagai penghinaan.. “Saya tepiskan cincin yang dibawanya. Saya marah.
Saya bilang padanya, tidak. Ini tidak mungkin terjadi.” Hatinya
menangis. Lamaran itu ditolaknya. Handoyo mencoba meyakinkan bahwa
lamaran itu betul-betul serius. Louisa tak percaya.
Setelah
kejadian itu, hubungan mereka memburuk. Louisa tak mau mengangkat
telepon dari Handoyo. SMS dan email pun tak dibalasnya. Handoyo
benar-benar serius! Lamaran kedua dilakukan. Ia membawa orangtuanya dari
Surabaya datang ke Jakarta. Namun, ketegangan terjadi karena orangtua
Handoyo sangat kaget melihat keadaan Louisa yang cacat, boncel tentu
sangat impossible sekali. Begitu juga teman-temannya serta keluarga
mengolok-olok. Lamaran kedua pun akhirnya batal lagi. Ternyata Handoyo
yakin benar Tuhanlah yang mempertemukan dan mengaturnya , bahwa Louisa
adalah pasangan yang diberikan baginya. Itu selalu diucapkan pada
Louisa, “ Mari kita sama-sama berdoa. Tuhan Maha ajaib. Dia akan buka
jalan.”
Menjawab
keyakinan Handoyo, Louisa hanya berkata, “Kalau memang kehendak Tuhan,
kamu pasti bisa meyakinkan orangtuamu dan orangtuaku.” Tepatnya Agustus
2004, doa itu terjawab. Handoyo dan keluarga datang melamar Louisa.
Keharuan tak dapat dibendung. Orangtua Louisa menerima lamaran untuk
anak sulungnya tanpa keraguan. Empat bulan kemuddian, 13 Oktober 2004,
Louisa dan Handoyo mengikat janji dalam sakramen pernikahan kudus di
Gereja St. Vincentius A. Paulo, Kediri. Mereka berdua menikah diberkati
karena Louisa dari agama Katolik sedangkan dari keluarga Handoyo masih
dalam sekte lain. Di hadapan pastor, umat, dan keluarga janji setia
diucapkan. Mereka akan bersama dalam susah dan senang, dalam miskin dan
kaya, dalam sehat dan sakit sampai maut memisahkan.
“Sesuatu
yang tidak pernah terpikirkan, diberikan Tuhan bagi saya. Saya diberi
suami yang sangat baik,” tutur haru wanita yang kerap bersaksi di
berbagai gereja itu. Juga Handoyo katakan tidak merasa menyesal karena
Tuhanlah yang mempertemukan kami berdua, menyentuh serta menggemggam
tangannya pun aliran cinta tetap mengalir sehingga bisa menikmati secara
hakiki walaupun orang di sekitar sepertinya tidak rela menerima kami.
Dua
bulan menikah, Louisa terlambat datang bulan. “ Saya piker ya biasalah
mungkin karena capek. Tapi suami mendorong periksa ke dakter.
Menyampaikan hasil positif hamil, dokter melihat saya. Seperti tidak
percaya. Saya dan suami juga tidak kalah kagetnya. Berita ini keruan
saja menghebohkan keluarga. Senang sekaligus khawatir. Apalagi setelah
dokter menjelaskan bahwa kehamilannya sangat berisiko. Dokter pun
menyarankan untuk aborsi demi keselamatan ibu dan anak. Handoyo dan
Louisa terus berdoa. “Setelah berdoa, saya yakin meneruskan kehamilan
saya. Suami juga sepakat.
“Setelah
hamil enam bulan sepuluh hari,Rabu, 15 Juni 2005 tepat 07.40 WIB,
Louisa melahirkan bayi perempuan yang diberi nama Maria Gabriella
Handoyo di RSAB Harapan Kita. Louisa boleh cacat, tapi putrinya lahir
mungil serta ini adalah nuansa keindahan serta menyatakan kemulian
Tuhan. Hamil saja perut gendut sekitar 15 cm, tapi cara Tuhan sulit
ditangkap lewat daya nalar manusia. Keluarga ini bermukim di Kelapa
Gading, Jakarta-Utara.
Sungguh
hari yang sangat bersejarah. Bukan hanya bagi Louisa, tapi juga dunia
kedokteran. Di Rumah Sakit Harapan Kita, ditangani oleh tujuh orang
dokter dan karena kandungannya ada kelainan. Louisa dioperasi sekitar 40
menit dan ia sempat mengalami stress, karena tensi darahnya mencapai
200. Sungguh ajaib baji lahir tanpa gangguan, sehat dan tingginya 40 cm.
benar-benar Tuhan luar biasa melakukan tanda mukjizat dan ajaib. Lahir
seorang baji yang mungil perempuan yang cantik sehingga inilah yang
menjadi kebanggaan bagi keluarga ini berkat bonus yang Tuhan berikan
menutupi sudut pandang orang-orang yang meragukan.
Ada
yang menanyakan walaupun keadaan seperti ini apa yang dilakukan ke
depan masaalah, prasarana keluarga dalam sesi ekonomi keuangan. Louisa
memberikan jawaban, memang kebutuhan keluarga dari mana saja Tuhan beri,
karena Tuhan tidak pernah membiarkan atau meninggalkan umat yang
berharap kepadaNya.
Contoh
untuk bayar operasi saja di rumah sakit ketika melahirkan dibutuhkan
Rp.176 juta biaya perawatan, sedangkan uang yang ada hanya Rp.35 juta.
Dari mana dana bisa menutupi kebutuhan tersebut? Ternyata Tuhan itu
tidak pernah terlambat semuanya bisa teratasi.
Sekarang
Louisa masih bekerja, beraktifitas sebagai motivator dan turut tampil
menyaksikan kemurahan Tuhan diundang sebagai pembicara dalam pelayanan
antara lain media elektronik. Sedangkan suaminya (Handoyo) mengelola
usaha computer dan menghasilkan income yang cukup memadai.” Puji Tuhan.
Tak habis-habisnya kami bersyukur pada Allah,” kata wanita yang Juni
2005 tercatat di MURI sebagai wanita pertama Indonesia dengan ukuran
tubuh 74 cm yang berhasil melahirkan. Meski lahir amat premature, Gaby
tumbuh dengan baik karena Louisa memberinya ASI. Tidak sampai disitu
berkat Tuhan, tanpa disadari ada seseorang yang menyumbangkan sebuah
mobil Kijang baru untuk keluarga ini di luar perhitungan secara
logika.Saat ini Louisa banyak memberikan kesaksian di berbagai tempat.
Jika Tuhan kehendaki di satu saat Louisa akan datang ke Amerika Serikat.
Sumber: http://indonesiamedia.com/2009/11/16/kisah-louisa-wanita-terpendek-di-indonesia/